Opini : Ketika Rumah Ibadah Dirusak, Yang Dihancurkan Bukan Tembok, Tapi Wajah Bangsa

Bayangkan jika sebuah rumah pribadi sah di mata hukum dan dijadikan tempat retret oleh belasan anak muda yang ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Tidak ada teriakan, tidak ada provokasi, hanya doa yang lirih.
Lalu datang segerombolan orang atau segerombolan pasukan sakit hati merusak pagar, menghancurkan kaca, merobohkan salib, melempar batu, membakar rasa aman, dan disana terlihat aparat keamanan hanya bisa menyaksikan dan bagi saya mereka juga turut memimpin aksi tersebut.
Lalu apa yang kita dengar?
“Mereka cuma salah paham.”
“Ini demi menjaga keharmonisan warga.”
Maaf, ini bukan salah paham. Ini adalah perusakan. Ini adalah persekusi. Ini adalah kekerasan.
Dan jika negara menyebutnya "salah paham", maka negara sedang meremehkan nyawa nurani kita semua.
Intoleransi Itu Bukan soal Iman, Tapi soal Kuasa, jangan tertipu, yang terjadi di Sukabumi bukan tentang beda agama. Ini tentang siapa yang merasa berhak menentukan siapa yang boleh beribadah.
Ketika rumah ibadah dibungkam, minoritas sedang dikirim pesan:
“Kalian boleh percaya, tapi diam-diam saja. Jangan terlalu kelihatan.”
Kita bukan sedang menyaksikan konflik agama.
Kita sedang menyaksikan bagaimana mayoritas menggunakan jumlah untuk memaksakan tafsir tunggal tentang hidup.
Penangguhan penahanan demi “keharmonisan warga”?
Itu seperti berkata:
“Kami tahu pelaku salah, tapi kami takut suara mayoritas lebih gaduh.”
Keharmonisan seperti ini tidak lebih dari kompromi murahan.
Damai yang dibangun dari diamnya korban adalah damai yang beracun.
Dan ketika pelaku intoleransi dibiarkan bebas berkeliaran demi "menghindari konflik", maka jelas: negara sedang membiarkan benih kekerasan tumbuh subur.
Sebuah Pertanyaan yang Harus Kita Lemparkan ke Cermin
Mengapa rumah yang penuh doa bisa dihancurkan oleh orang yang mengaku beriman?
Apakah Tuhan butuh dibela dengan batu? Apakah iman seseorang hanya kuat kalau bisa merobohkan simbol agama lain?
Jika iya, maka kita tidak sedang hidup di negeri yang ber-Tuhan.
Kita hidup di negeri yang dikendalikan rasa takut dan kebencian yang disucikan.
Kita tidak bisa lagi bersikap netral.
Kita tidak bisa lagi berkata, “Itu bukan urusan saya.”
Netralitas dalam kekerasan adalah keberpihakan pada pelaku.
Dan mereka yang hari ini diam, esok mungkin akan menjadi korban dari kebencian yang mereka biarkan tumbuh.
Negara Di Mana Kau?
Undang-Undang Dasar jelas. Kebebasan beragama dilindungi.
Lalu ketika rumah ibadah dirusak dan pelakunya dibela oleh pejabat, di mana negara?
Negara tidak boleh berdiri di tengah, Negara harus berdiri di samping yang lemah.
Jika tidak, kita bukan lagi negara hukum, tapi negara kompromi.
Indonesia Tidak Akan Runtuh Karena Perbedaan. Tapi Bisa Runtuh Karena Pembiaran
Yang akan menghancurkan bangsa ini bukan keyakinan yang berbeda.
Tapi diamnya orang-orang baik.
Dan lunaknya hukum saat berhadapan dengan kebencian.
Kita tidak sedang melindungi minoritas.
Kita sedang melindungi akal sehat.
Karena hari ini mungkin gereja yang dirusak.
Besok bisa masjid kecil. Lusa bisa vihara,
Dan suatu hari nanti, bisa jadi itu rumahmu sendiri.
Jika kita masih bisa tidur nyenyak ketika rumah ibadah dihancurkan dan pelakunya dibela, maka kita bukan sedang menjaga kedamaian. Kita sedang menyiapkan makam bagi masa depan.
Indonesia bukan rumah bagi kita semua jika sebagian penghuninya terus diusir secara diam-diam.
Ini bukan soal Kristen, Islam, Buddha, atau siapa pun. Ini soal hak paling dasar sebagai manusia untuk berdoa tanpa takut, untuk tinggal tanpa dihakimi, dan untuk hidup tanpa ditentukan oleh mayoritas.
_Ridwan