Aku Ingin Diam

Beberapa hari ini entah kenapa aku hanya ingin diam, bukan karena sedang sedih, bukan karena ada sesuatu yang salah, namun aku hanya… lelah menjelaskan, lelah berpura-pura tertarik, lelah ikut tertawa atas hal-hal yang sebenarnya tak lucu, lelah mengangguk untuk basa-basi yang tak kuperlukan.
Diamku bukan bentuk kemarahan, bukan pasif-agresif. Aku hanya ingin unuk tidak membuka mulut ketika yang keluar nanti hanyalah kebohongan tentang apa yang sebenarnya aku rasakan.
Tapi ternyata diam juga bukan tempat yang aman, diam dianggap ancaman bagi lingkungan, diam dianggap tidak sopan, tidak ramah, tidak normal. Ada tekanan diam-diam yang mendorong kita untuk tetap terlihat "bahagia", tetap merespons, tetap menjawab, tetap bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja. Kita seperti dituntut untuk selalu aktif—terlibat dalam obrolan, menjawab cepat, memberi tanggapan, mengisi kekosongan dengan sesuatu, bahkan jika tidak ada yang ingin diucapkan, tetap saja harus berkata-kata agar tidak dianggap ‘dingin’.
Kadang aku hanya ingin menghilang dari segala interaksi yang tak penting, bukan karena membenci siapa pun, tapi karena aku butuh ruang. Ruang untuk tidak menjadi siapa-siapa. Tidak sedang menyenangkan siapa pun, tidak sedang memfilter kalimat agar tidak menyinggung, tidak sedang menghibur, menjelaskan, atau membuat suasana tetap cair. Aku tidak ingin menjadi ‘versi nyaman’ dari diriku hanya demi membuat orang lain tidak salah paham.
Lucunya lagi, ketika aku diam, orang tetap salah paham, diam dianggap menyimpan dendam, dianggap menjauh, dianggap masalah. Padahal kadang diam hanyalah bentuk terakhir dari pertahanan diri ketika sudah terlalu banyak suara dari luar yang didegar, namun sekarang aku hanya ingin mendengar suaraku sendiri. Tapi suaraku sendiri pun sudah tenggelam, dan untuk menemuinya lagi, aku harus menyepi, harus mundur, harus benar-benar berhenti berbicara hanya untuk kembali bisa mengenal pikiranku sendiri.
Aku pernah mencoba menjelaskan ini kepada banyak orang yang risih atas diam ku dan berkata bahwa aku haya butuh waktu untuk sendirian, aku sedang tidak ingin bicara, tapi penjelasan itu sering berakhir di pemahaman yang berbeda. Mereka mengira aku sedang sedih, sedang kecewa, atau sedang marah. Mereka mengira mereka telah melakukan sesuatu yang salah. Padahal ini bukan tentang mereka, melainkan ini tentangku. Tentang kapasitasku, keterbatasanku sepanjang waktu, tentang energi yang telah habis, bahkan ketika tubuhku masih terlihat baik-baik saja.
Kamu tahu perasaan ketika kamu sedang tidak ingin bicara tapi orang lain terus memaksa? Rasanya seperti didorong dari belakang seperti saat kamu baru saja belajar berdiri. Rasanya seperti dipaksa ikut lomba lari padahal luka dikakimu baru saja sembuh. Kadang aku hanya ingin duduk, diam, menonton orang lain berlalu-lalang tanpa harus menjelaskan kenapa aku tidak ikut berlari. Tapi selalu ada yang datang dan berkata, “Kenapa kamu diam saja?” atau “Ayo dong jangan murung.”
Aku tidak murung, aku tidak sedih, aku hanya ingin diam. Tapi bahkan keinginan itu pun tidak diizinkan dalam dunia yang terlalu ribut ini. Dunia yang memuja keramahan, menyembah interaksi, dan mencurigai keheningan. Dunia yang selalu ingin tahu “ada apa”, padahal tidak semua hal harus dijelaskan. Tidak semua hal punya narasi rapi yang bisa disampaikan dalam dua kalimat logis. Kadang apa yang aku rasakan tidak punya nama. Tidak bisa dibentuk dalam sebuah kata atau kalimat. Dan aku hanya ingin menikmatinya sampai reda dengan sendirinya.
Aku ingin diam, dan tidak dihukum karena itu. Aku ingin diam, dan tidak kehilangan hubungan sosial karenanya. Aku ingin diam, dan tidak dianggap menyebalkan, pasif, atau tidak bersyukur. Aku ingin diam karena aku sedang mendengarkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar suara, aku sedang mencoba mendengarkan diriku sendiri. Sesuatu yang selama ini selalu kuabaikan karena sibuk mendengarkan orang lain.
Dunia terlalu ribut, terlalu suka bicara, terlalu cepat menyela, terlalu takut pada jeda, tapi aku tidak ingin ikut-ikutan. Karena kalau aku terus bicara hanya untuk menyenangkan orang lain, aku akan kehilangan suaraku sendiri. Dan kehilangan suara sendiri jauh lebih sunyi daripada diam.
Maka biarkan aku diam, bukan karena aku hilang. Tapi karena aku sedang pulang. Pulang ke dalam diriku sendiri.
#Literasi