FOMO dalam Era Digital

Beberapa tahun terakhir ini, ada satu fenomena psikologis yang makin sering terdengar, terutama di kalangan anak muda dan pekerja kreatif, yakno FOMO (Fear of Missing Out). Takut tertinggal, takut tidak tahu, takut tidak ikut, takut tidak kelihatan.
Mungkin terdengar remeh, namun dampaknya perlahan menjadi nyata, tekanan mental, kelelahan sosial, dan kecemasan tanpa sebab yang jelas. Di era digital ini kita tidak hanya dituntut untuk hidup, tapi juga untuk Terlihat Hidup setiap saat.
Kita membuka media sosial bukan hanya untuk mengisi waktu, tetapi secara tak sadar juga untuk membandingkan diri. Seseorang baru saja liburan ke Jepang, sementara kamu masih bergulat dengan tagihan akhir bulan. Teman sekolahmu baru saja mengunggah foto seminar internasional, sedangkan kamu masih mencoba membuka email yang menumpuk sejak Senin. Influencer favoritmu tampak bahagia dengan rutinitas pagi penuh afirmasi, yoga, dan kopi hangat, sementara kamu terburu-buru bahkan untuk sarapan.
Apakah mereka sungguh bahagia? Mungkin. Tapi apakah itu relevan dengan hidup kita? Seharusnya tidak, namun kita tetap merasa tertinggal.
Media sosial yang awalnya dibuat untuk menghubungkan, perlahan berubah menjadi panggung. Semua orang tampil, semua orang berbagi highlight hidup. Dan kita yang hanya menonton, mulai merasa seperti figuran dalam cerita orang lain. Kita merasa bersalah karena tidak punya pencapaian baru minggu ini. Kita merasa panik karena tidak ikut dalam tren terbaru. Kita bahkan merasa harus memikirkan sesuatu yang menarik hanya untuk bisa tetap "relevan".
Salah satu efek samping paling terasa dari FOMO adalah hilangnya kenyamanan dalam keheningan. Diam kini menjadi beban, cuek dianggap ketinggalan, tidak ikut komentar disalahartikan sebagai tidak peduli, tidak posting apa pun selama beberapa hari bisa membuat orang bertanya-tanya: "Kamu kenapa?"
Ritme dunia digital terlalu cepat. Setiap menit ada yang baru, dan tekanan tak tertulis itu mendorong kita untuk terus bereaksi, merespon, menanggapi, bahkan ketika kita sudah lelah, ahkan ketika kita sedang tidak punya energi untuk berpikir.
Inilah era ketika istirahat harus diberi penjelasan. Detoks digital harus diumumkan, bahkan menghilang sebentar harus diberi caption seperti “lagi rehat sejenak ya teman-teman.”
Apakah kita sungguh sebebas yang kita kira?
FOMO membuat kita hidup bukan berdasarkan kebutuhan pribadi, tetapi berdasarkan apa yang sedang “diperbincangkan.” Kita merasa harus ikut karena semua orang ikut. Kita merasa harus punya karena semua orang punya. Kita merasa harus melakukan sesuatu karena takut terlihat tidak melakukan apa-apa.
Akibatnya kita kehilangan orientasi. Kita tidak lagi tahu mana yang benar-benar kita inginkan dan mana yang hanya kita kejar karena tekanan sosial. Kita tak lagi menjalani hidup, kita menyusunnya seperti kurasi pameran.
Hidup jadi seperti konten yang harus konsisten. Harus menarik. Harus aktif. Harus on brand.
Tapi siapa kita sebenarnya, di balik semua itu?
FOMO bukan musuh yang bisa dikalahkan sekali lalu hilang. Ia muncul perlahan, setiap hari, lewat notifikasi kecil dan rasa penasaran sesaat. Tapi kita bisa mulai melawannya dengan jeda. Dengan memberi ruang bagi keheningan. Dengan berani tidak tahu. Dengan merelakan bahwa kita memang tidak bisa ikut serta dalam semuanya dan itu tidak membuat kita kurang berarti.
Kita bisa melatih diri untuk hadir, bukan hanya eksis. Menikmati momen tanpa mengabadikannya, mendengarkan tanpa harus langsung membalas, melakukan hal kecil tanpa takut tidak cukup besar untuk dibagikan.
Penerimaan bukan sikap pasrah. Ia justru bentuk kedewasaan bahwa kita sadar dunia akan terus bergerak tanpa kita, dan itu tidak apa-apa. Kita tetap cukup, bahkan ketika kita tidak terlihat.
Mungkin, dalam dunia yang terus memaksa kita untuk bicara, keberanian terbesar adalah memilih untuk diam. Mungkin, di tengah tekanan untuk terus tampil, tindakan paling radikal adalah menjadi biasa saja. Tidak luar biasa, tidak viral, tidak relevan tapi nyata.
Dan mungkin, dalam menghadapi FOMO, kita perlu bertanya bukan “apa yang aku lewatkan?”, tetapi “apa yang sebenarnya aku butuhkan?”
Karena pada akhirnya, hidup terbaik bukan yang paling penuh sorotan, tapi yang paling memberi ruang untuk kita menjadi diri sendiri apa adanya.
#evans