Karya: Oni Santi Hulu
Puisi ini adalah perjalanan batin tentang kesadaran bahwa segala yang kita miliki hanyalah titipan. Saat kehilangan datang, hati sering terasa berat, namun justru di sanalah kita belajar ikhlas. Ketika Malam Terlalu Panjang menjadi pengingat bahwa setiap titipan memiliki waktunya, dan tugas kita hanyalah menjaga, merawat, lalu melepaskannya kembali dengan lapang dada.
Ketika Malam Terlau Panjang
Di tanah yang dulu harum karna janji,
kini tumbuh bunga-bunga yang kering,
daunnya luruh bersama kepercayaan,
akar-akarnya retak ditelan keserakahan.
Air mata rakyat jatuh tanpa suara,
mengalir di jalan-jalan yang berdebu,
menyusuri parit-parit yang penuh lumpur,
seakan mencari muara yang tak pernah ada.
Di balik senyuman pemimpin,
ada getir yang tak bisa disembunyikan,
dan di balik sorak sorai kemenangan,
ada hati kecil yang dipaksa untuk tunduk.
Malam pekat begitu panjang,
langit seperti ditutup kain hitam,
suara burung pun enggan bernyanyi,
karena hutan penuh dengan jerat.
Namun masih ada harapan yang samar,
meski redup, ia menolak untuk pergi,
meski ditiup angin dusta,
ia tetap berdenyut di sanubari rakyat kecil.
Tangis itu tidak hanya luka,
ia juga doa tanpa kata,
ia adalah hujan yang jatuh ke bumi,
menyuburkan benih-benih harapan.
Setiap tetes air mata yang jatuh,
Ia membawa pesan
bahwa kesedihan bukan akhir,
bahwa luka bisa berubah jadi kekuatan.
Harapan tumbuh perlahan,
seperti tunas di celah batu,
rapuh, kecil, hampir tak terlihat,
namun tak bisa dihentikan oleh siapa pun.
Dan meski jalan panjang penuh duri,
meski langkah yang sering terseok,
bangsa ini masih punya nafas,
masih punya janji pada dirinya sendiri.
Akan tiba saat pagi merekah,
setelah malam habis dilahap waktu,
dan cahaya matahari kembali menerangi
keyakinan yang hampir hilang.
Di sanalah tangisan menemukan arti,
di sanalah luka menjelma menjadi kekuatan,
dan di sanalah harapan
akhirnya berdiri tegak.
Belajar dari Titipan
Segala yang hadir di hidupku
bukanlah milikku,
hanya singgah sebentar,
Dan hanyalah titipan.
Rumah yang kukira abadi,
mobil yang kubanggakan,
harta yang kuhitung setiap hari,
bahkan anak yang kucintai sepenuh jiwa,
semua hanyalah amanah.
Namun sering kali aku lupa,
Aku merasa berhak,
aku merasa pemilik sejati.
Dan ketika Engkau meminta kembali,
hatiku memberat,
air mata tak mau berhenti,
seakan Kau merampas sesuatu dariku,
padahal Kau hanya menjemput pulang
apa yang memang milikMu sejak mula.
Aku lalu menamai kehilangan itu:
“musibah”,
“ujian”,
“derita”.
Seakan kehilangan adalah kutukan,
padahal barangkali itu jalan
agar aku belajar ikhlas,
agar aku tahu arti melepaskan.
Sering pula aku berdoa dengan nafsu,
ingin yang lebih banyak,
yang lebih indah,
yang lebih mudah.
Aku menolak sakit,
menolak sepi,
menolak miskin,
seakan derita hanyalah hukuman.
Aku lupa,
bahwa hidup bukan timbangan dagang.
Bahwa ibadahku bukan barter,
bahwa Engkau bukan pedagang doa.
Engkau adalah Pemilik,
aku hanya penjaga sementara.
Kini aku belajar perlahan,
untuk apa Kau titipkan padaku?
Mungkin agar kupelihara dengan kasih,
agar kugunakan untuk kebaikan,
agar kelak ketika Kau memanggil kembali,
aku bisa berkata dengan ringan,
“Terima kasih Tuhan,
telah mempercayakan ini padaku.”
Sebab sejatinya,
yang hilang bukanlah benar-benar hilang.
Yang pergi hanyalah pulang,
dan yang tersisa hanyalah tanda
bahwa aku masih dipercaya untuk menjaga.
Maka jangan takut kehilangan,
Jangan gelisah ketika titipan itu Kau ambil.
Sebab Engkau tak pernah salah,
tak pernah keliru menitipkan,
dan tak pernah lupa membalas
setiap ikhlas yang kusematkan.
Hari ini aku ingin belajar ikhlas,
menerima apa pun yang Kau beri,
menjaga dengan sepenuh hati,
dan melepas dengan senyum yang tulus.
Karena hidup bukan tentang memiliki,
tetapi tentang merawat titipan,
dan bersiap menyerahkannya kembali
dengan hati yang lapang.
