Opini: Robot Polisi Gimik Teknologi atau Masa Depan Penegakan Hukum?

Robot polisi berwujud anjing dan humanoid berwarna putih berpatroli di kawasan Monas dalam peringatan HUT Bhayangkara ke-78, memicu perdebatan publik tentang efektivitas dan urgensi teknologi ini dalam konteks keamanan nasional Indonesia

Beberapa pekan terakhir Republik Indonesia dihebohkan oleh kemunculan robot polisi yang berpatroli dalam gelaran HUT Bhayangkara ke-78 di Monas, Jakarta. Robot yang berwujud anjing serta humanoid berwarna putih itu ramai diperbincangkan di media sosial. Ada yang menyambutnya sebagai simbol kemajuan teknologi kepolisian, tapi tak sedikit pula yang menyebutnya sebagai “gimik” mahal yang belum tentu berdampak nyata bagi keamanan masyarakat.

Fenomena ini mengangkat pertanyaan penting: Apakah ini hanya tren sesaat, atau benar-benar langkah awal menuju transformasi kepolisian berbasis teknologi?

Secara visual, robot-robot ini memang mencuri perhatian. Dengan bentuk futuristik dan gerakan semi-otonom, mereka tampak seperti keluar dari film Hollywood yakni robot anjing yang bisa berjalan, mengendus, dan memberikan peringatan, serta robot humanoid yang berdiri dengan elegan sambil mengucapkan salam. Netizen pun ramai-ramai membuat video pendek, memes, dan komentar lucu—beberapa menyebutnya "robot polisi mahal yang hanya bisa menyapa."

Tapi narasi tidak berhenti di situ. Ketika publik mulai mempertanyakan fungsi, efektivitas, hingga biaya, diskursus pun bergeser dari kagum menjadi kritis.

Menurut berbagai sumber, robot anjing tersebut ditaksir senilai Rp 3 miliar per unit. Polri menyebut bahwa robot itu belum dibeli dan masih dalam tahap uji coba kerja sama dengan ITS dan pengembang teknologi lainnya. Tapi fakta bahwa harga itu mencuat di tengah maraknya isu pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan tentu membuat publik bertanya: Apakah ini prioritas yang tepat?

Beberapa komentar publik cukup tajam:

“Kita butuh polisi yang responsif, bukan robot yang cuma bisa nyapa.”
“Kalau ada kecelakaan, bisa enggak robot ini mengevakuasi manusia?”

Kekhawatiran ini masuk akal. Di banyak wilayah, masyarakat masih mengeluhkan minimnya kehadiran polisi di lapangan, lambatnya respons terhadap laporan, hingga isu integritas. Maka, investasi dalam teknologi, tanpa menyelesaikan masalah dasar, bisa dianggap sebagai "loncatan yang belum siap ditopang fondasi."


Antara Keamanan dan Privasi: Garis Tipis yang Rawan Dilanggar

Salah satu fitur yang dibanggakan dari robot ini adalah kemampuannya dalam mendeteksi zat berbahaya, mengirim data real-time, dan bahkan pengawasan berbasis AI. Ini tentu potensial untuk pengamanan acara besar, evakuasi bencana, atau skenario darurat.

Namun, kita juga harus bertanya: bagaimana dengan privasi warga? Apakah data yang dikumpulkan akan aman? Apakah masyarakat diberi tahu bahwa mereka sedang diawasi robot bersensor AI? Siapa yang mengatur ini semua? Apakah sudah ada regulasi?

Di negara-negara maju sekalipun, penggunaan AI dalam penegakan hukum menjadi perdebatan panjang. Beberapa kota di AS dan Eropa bahkan menolak teknologi pengenalan wajah karena dikhawatirkan melanggar kebebasan sipil.

Indonesia sendiri belum memiliki payung hukum yang cukup kuat untuk mengatur penggunaan robotik penegak hukum. Maka, adopsi teknologi tanpa regulasi bisa jadi pisau bermata dua: menjanjikan kemajuan, tapi menyimpan potensi pelanggaran hak warga negara.


Jika ditanya apakah robot polisi adalah langkah maju? Jawabannya: iya, dalam konteks pengembangan teknologi nasional dan kesiapan menghadapi ancaman modern.

Tapi jika ditanya apakah ini solusi terhadap problem keamanan di masyarakat saat ini? Maka jawabannya belum tentu.

Kejahatan di Indonesia bukan hanya soal kurangnya alat atau sensor. Tapi juga soal akar struktural: kemiskinan, ketimpangan, lemahnya pendidikan, serta rendahnya kepercayaan terhadap institusi hukum. Robot tidak bisa menggantikan kehadiran manusia yang penuh empati, dialog sosial, atau upaya preventif berbasis komunitas.

Opini publik bukan ancaman, tapi indikator kesehatan demokrasi. Kritik terhadap robot polisi seharusnya tidak dianggap sebagai penolakan terhadap teknologi, tapi sebagai pengingat bahwa teknologi harus berpihak pada rakyat, bukan sekadar prestise institusi.

Masyarakat berhak bertanya:

  • Mengapa teknologi ini diprioritaskan
  • Siapa yang bertanggung jawab terhadap datanya?
  • Apa dampaknya terhadap anggaran dan pelayanan dasar?
  • Dan yang paling penting: Apakah ini benar-benar dibutuhkan sekarang?

Robot polisi bisa menjadi alat bantu yang luar biasa, jika digunakan pada tempat dan waktu yang tepat. Namun, sebelum kita terlalu cepat memujinya, mari kita pastikan bahwa kehadirannya tidak menutupi masalah struktural yang lebih mendalam.

Teknologi bisa menjadi jembatan menuju masa depan, asalkan dibangun di atas fondasi kepercayaan, empati, dan akuntabilitas.

Jika tidak, maka kita hanya sedang membangun panggung mewah untuk masalah lama yang belum terselesaikan.