Kemerdekaan di Bawah Bayang Topi Jerami
Agustus datang lagi,
terdengar suara drum dan terompet
yang berusaha menutup desah lelah rakyat.
Tujuh belas akan tiba,
tapi aroma kemerdekaan itu entah di mana.
Mungkin terselip di rak dokumen negara
yang berdebu,
di sebelah tumpukan janji-janji
yang tak pernah ditepati.
Pemerintah kita seperti tukang sulap murahan,
tangannya cepat,
matanya pura-pura tulus,
tapi yang keluar dari topinya bukan solusi,
melainkan kebijakan asal jadi,
peraturan dadakan,
aturan yang berubah secepat harga beras di pasar.
Hari ini bilang A, besok jadi Z,
lusa malah hilang di tengah kalimat.
Rakyat sudah muak,
Walau suara kami terdengar di telinga mereka, bagi mereka, suara kami seperti radio rusak,
hanya bunyi yang berisik tanpa makna.
Di jalanan anak-anak muda mengibarkan bendera One Piece.
Bukan sekadar hiasan,
tapi tanda mereka memilih bajak laut fiksi
daripada nakhoda negeri
yang tak tahu kemana kapal ini berlayar.
Mereka tertawa di bawah tengkorak topi jerami
karena setidaknya Luffy dan krunya punya arah, punya mimpi, punya setia kawan
sesuatu yang tak dimiliki oleh penguasa kita.
Di televisi, pidato pejabat berderet rapi,
kata “kemerdekaan” diulang-ulang
seperti mantra penyembuh luka,
padahal yang keluar hanya garam yang ditabur di perih rakyat.
Kemerdekaan jadi apa, jika kami tak bisa
memilih harga pangan yang wajar?
Kemerdekaan macam apa,
jika kritik dibungkam
dan keadilan dijual kiloan?
Tujuh belas nanti,
Merah Putih akan tetap berkibar,
tapi di hati kami,
warnanya mulai pudar,
tercampur abu dari bara amarah
dan rasa percaya yang terbakar habis.
Jika ini kapal besar bernama Indonesia,
maka kami butuh nakhoda baru,
yang tahu bahwa kemerdekaan
bukan sekadar kata di kalender,
tapi hak untuk hidup tanpa takut,
hak untuk mendapat keadilan,
hak untuk tak lagi dipermainkan kebijakan.
Dan bila mereka tak berubah,
jangan salahkan kami
jika suatu hari nanti,
bendera tengkorak itu
berdiri sejajar dengan Merah Putih,
bukan karena kami melupakan bangsa,
tapi karena bangsa ini
terlalu sering melupakan kami.